Kamis, 25 Februari 2010

Kebebasan dalam Ketertiban

Kebebasan itu sesungguhnya ada di dalam ketertiban dan keteraturan. Manusia akan merasakan kebebasan di dalam kehidupan bermasyarakat yang tertib dan teratur. Ketertiban dan keteraturan terjadi karena hukum dibuat dan dilaksanakan dengan tegas, konsisten dan adil. Memang kita merasa bahwa ketika kita menyerobot hak manusia lain, mengambil lebih banyak daripada orang lain, melanggar ketentuan hukum dan seterusnya, kita merasa ada kebebasan dan kita merasa senang. Kita senang ketika kita berhasil menyerobot antrian dan memperoleh lebih dulu; kita gembira saat melanggar aturan lalulintas karena kita sampai lebih awal; kita lega setelah membayar calo dan mendapatkan KTP, SIM, Paspor dengan cepat dan seterusnya. Tapi sesungguhnya tidak ada kebebasan di situ, dan jika mau merenung ternyata tidak ada kesenangan pula di situ. Sebab di tengah berbagai pelanggaran, ada orang lain yang terganggu dan tidak nyaman hidupnya karena selalu berada dalam ketakutan. Di tengah ketidaktertiban kita merasa takut setiap saat, takut orang lain menganggu kehidupan kita, takut melanggar kehidupan pribadi kita, takut mengurangi kebebasan kita. Di tengah hiruk pikuk yang tidak beraturan, tidak ada ketertiban dan tidak akan ada kesenangan, apalagi kebahagiaan.

Cobalah bandingkan dengan perasaan saat kita berkunjung ke negara lain yang kehidupan masyarakatnya berjalan dengan tertib. Akan terbit rasa senang dan bahagia di situ karena di situ ada ketertiban, keteraturan, ada rasa aman karena merasa terlindungi baik oleh negara maupun oleh manusia lainnya. Orang-orang berlalu lalang berjalan kaki melalui rute yang diizinkan, menyeberang jalan di tempat yang ditentukan, kendaraan bermotor dikendarai dengan tertib tidak saling serobot dan tidak membunyikan klakson kecuali sangat terpaksa, taksi dan biskota berhenti di halte yang ditentukan. Tidakkah kita akan merasa nyaman? Birokrasi pemerintahan bersikap tertib dan sopan, mengurus semua urusan tidak saling sikut, tidak memakai calo, tidak ada sogok dan semuanya berjalan dengan cepat tapi tertib. Bukankah kita merasa senang dengan keadaan seperti itu? Politisi memang tetap saling kritik tetapi semuanya dilakukan di dalam gedung parlemen tanpa kegaduhan yang melibatkan masyarakat. Bukankah dengan demikian kita tidak merasa terusik? Hanya di negara-negara yang seperti itu, yang tertib, teratur dan damai bisa kita jumpai kakek dan nenek berjalan kaki di pinggir jalan dan di taman-taman kota sambil bergandengan tangan dan tertawa-tawa. Adakah kita jumpai orang-orang tua berjalan kaki bergandengan tangan sembari tersenyum cerah di kota-kota di negeri yang selalu ribut, selalu kisruh, yang orangnya mau menang sendiri, dan yang hukum tidak berjalan karena tidak ada aparat yang mau menjalankannya? Tidak akan ada dan tidak akan pernah ada selama tidak ada ketertiban.

Untuk mencapai ketertiban sebenarnya tidak sukar asalkan ada kemauan dan keseriusan untuk menerapkan ketentuan hukum secara tegas, konsisten dan adil di semua bidang. Penerapan hukum itu akan melahirkan keadilan dan bersama keadilan akan ada ketenangan hidup dan bersama ketenangan hidup mengalir pula kebahagiaan. Bukankah kita membentuk negara ini untuk mencapai kebahagiaan?

(Amir Santoso, Gurubesar FISIP.UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).

Terpaksa Jual Anak

Kemarin teman saya di FISIP.UI, Prof Meutia Hatta Swasono, menulis di harian ini bahwa penjualan bayi adalah kehancuran peradaban. Dia benar sekali. Tapi saya ingin mengoreksi bahwa peradaban yang rusak di negeri kita bukanlah peradaban rakyat jelata melainkan peradaban para pemimpin dan para tokoh. Sebab para pemimpin itulah yang menjadi penyebab beberapa ibu terpaksa menjual anaknya. Kemiskinan di suatu negara bukan karena rakyat tidak mau bekerja tetapi karena tidak bisa bekerja lantaran terkendala oleh sistem perekonomian yang menyebabkan rakyat terhisap dan dihisap oleh kaum kapitalis. Negeri ini sudah ”dijual” kepada para kapitalis dalam dan luarnegeri sehingga kita semua telah menjadi hamba dari mereka. Cobalah perhatikan dan jawab pertanyaan mengapa usaha kecil dan menengah kita banyak yang gulung tikar? Jawabnya mudah, bagaimana pengusaha kecil dan menengah itu mau melawan serbuan usaha besar dan modal asing yang datang seperti air bah ke dalam negeri tanpa filter sedikitpun. Belum sempat usahawan kelas warung bernafas, sudah datang lagi banjir bandang barang murah dari Cina. Sekarang ini para pengusaha kelas warung hanya bisa duduk bersimpuh sambil berdoa melihat warungnya dan pabrik kecilnya terpaksa ditutup karena bangkrut. Lantas kemana para karyawan mereka? Ya kalau tidak menjadi TKI dan TKW ya menjadi penjahat atau pengemis. Siapa yang mengundang para kapitalis itu kalau bukan para pemimpin?

Suami Prof Meutia, Prof Edi Swasono, tidak lelah-lelah bersuara agar sistem perekonomian Indonesia kembali disusun atas usaha bersama dengan ideologi yang memihak rakyat kecil, dan bahwa bumi, air serta kekayaan alam lainnya mesti dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Beliau bersama teman-teman akademisi di berbagai universitas antara lain Universitas Gajah Mada, suara bapak perekonomian Indonesia Mohammad Hatta dan Pasal 33 UUD 1945 itu senantiasa didengungkan dan diperjuangkan oleh mereka. Tetapi hasilnya masih seperti membentur tembok Cina, hanya gaung yang terdengar ditingkah suara tertawa kaum kapitalis yang mengejek upaya itu. Bayi-bayi yang dijual, orang yang terpaksa makan nasi aking, yang terpaksa mencuri tiga biji kakao atau baju kaos lusuh tapi dijatuhi hukuman, adalah contoh kecil dari kemiskinan yang kini menyerbu tanah air kita dengan gegap gempita. Kita semua menjadi korban ideologi kapitalis dan liberal bukan hanya karena serbuan ideologi itu belaka melainkan juga karena mentalitas banyak pemimpin kita yang tidak peduli kepada nasib bangsanya. Sekarang, sama seperti para pengusaha kecil itu, kita hanya bisa berdoa semoga para pendukung ekonomi yang memihak rakyat kecil tetap diberi ketabahan oleh YMK untuk tidak berhenti memperjuangkan sistem perekonomian yang lebih memihak rakyat kecil guna mengentaskan kemiskinan mereka.

(Amir Santoso, Gurubesar FISIP.UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).

Senin, 08 Februari 2010

Bumi, Air untuk Siapa?

Setiap kali saya ajak omong sopir taksi dikala jalanan macet, jawaban mereka tetap sama seperti lima enam tahun yang lalu yaitu keadaan jaman Pak Harto lebih enak. Alasan mereka juga sama yaitu gampang cari makan, harga-harga murah dan keamanan terjamin. Saya pancing dia, dulu kan ada korupsi? Sopir itu ngakak, memangnya sekarang sudah habis korupsinya pak? Malahan makin banyak tuh, mulai dari atas sampai kebawah, ke kanan dan ke kiri. Saya pancing lagi, kan sekarang ada kebebasan? Benar pak, jawabnya, tapi saya dan teman-teman jengkel karena tiap hari terhadang demo dan mendengar debat yang tidak putus-putus di DPR, di televisi, di radio dan sebagainya. Tidak ada solusi hanya debat melulu, katanya. Jawaban sopir itu ternyata makin canggih, siapa bilang sekarang banyak kebebasan pak? Mana kami-kami ini bebas dari kemiskinan, pengangguran, bebas dari ketakutan karena hukum lebih memihak yang kaya, bebas hidup dari tekanan? Sopir itu benar, demokrasi kita sekarang ini adalah baarang mewah bagi dia dan rakyat yang sekelas dengannya.

Demokrasi kita sekarang ini hanya permainan para tokoh untuk bersilat lidah dan berpura-pura membela rakyat. Bagi rakyat, yang dibutuhkan adalah demokrasi yang menyejahterakan, yang memberi rasa aman. Mereka jauh dari keinginan untuk berdebat politik karena memang hasrat mereka sederhana saja yaitu hidup tenang dalam keamanan dan kesejahteraan. Adalah tugas dan kewajiban pemerintah untuk mengadakan dua hal itu. Pemerintahan yang abai akan hal itu adalah pemerintahan yang berkhianat terhadap cita-cita proklamasi.

Reformasi ini sesungguhnya memiliki makna yang mulia yaitu me-reform atau mengubah dan menyempurnakan hal-hal yang dulu kurang baik. Tapi yang terjadi ternyata bukan perbaikan dan penyempurnaan melainkan perusakan dalam skala luas terhadap capaian-capaian yang baik di masa lalu. Bagaimana ketertiban dan keamanan akan berjalan dengan baik apabila hukum tidak diterapkan dan keadilan tidak ditegakkan? Bagaimana harmoni sosial akan terpelihara apabila konflik antar kelompok, suku dan agama dibiarkan dengan dalih kebebasan berpendapat? Yang lebih menyedihkan adalah hilangnya kedaulatan ekonomi kita karena harta kita, bumi dan air telah banyak yang hilang ke tangan asing. Kita telah berubah menjadi bangsa yang menumpang di tanah air sendiri karena hampir semua harta kita yang teletak di bumi dan air telah dikuasai asing.

Pasal 33 UUD 1945 tentang bumi, air dan kekayaan alam lainnya harus dikuasai oleh negara bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat telah tidak digubris lagi, dikalahkan oleh nafsu serakah untuk memperoleh untung bagi kantong pribadi. Hampir semua kekayaan kita telah dijual mulai dari pertambangan, BUMN, bahkan di lautpun kita tidak berdaulat lagi. Ini ironi demokrasi karena kita takluk kepada kepentingan asing melalui jargon-jargon manis Demokrasi Liberal tentang kebebasan yang ternyata menyesatkan. Inilah buah dari kekhilafan kita melupakan Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33 tersebut. Sementara negara tetangga yang lebih muda usia telah menjadi raksasa yang berdaulat, kita pelan-pelan berubah bagai mimikri menjadi bangsa pengemis dan penjilat. Astagafirullah

(Amir Santoso, Gurubesar FISIP.UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).

Kucingpun Buang Hajat Sembarangan

Tulisan ini diilhami oleh khotbah khotib di masjid kampung dekat rumah saya Jum’at pekan lalu. Khotib itu mengatakan bahwa dewasa ini banyak manusia yang sudah melupakan hubungan dengan Tuhan, menafikan etika, moral dan sopan santun. Manusia, katanya, cenderung hanya memperhatikan kepentingannya sendiri tanpa mengingat kepentingan orang lain. Prilaku manusia yang tidak bermoral itu, katanya, ternyata menular kepada binatang. Lihatlah kucing, di masa lalu kucing jika akan buang hajat akan mencari tempat yang jauh dari kediaman manusia.

Setelah itu, si kucing akan mengeruk tanah dengan kaki depannya guna membuat lobang dan di dalam lobang itulah dia membuang kotorannya. Setelah selesai, si kucing akan menutup lobang tersebut lalu menciuminya. Apabila masih tercium bau busuknya, kucing itu akan menambah timbunan tanah di atas lobang itu. Tapi kucing di jaman sekarang buang hajat semaunya bahkan juga di dekat pintu rumah, tidak lagi membuat lobang melainkan buang saja kotorannya sesukanya tanpa menutupinya sehingga baunya tersebar kemana-mana bahkan sering kita menginjak kotoran itu tanpa sengaja. Bukan hanya kucing, anjing dan binatang lainpun cenderung semaunya saja seolah meniru prilaku manusia. Yang kita tidak tahu mungkin di dunia binatang itu kini ada juga korupsi karena meniru manusia.

Yang berubah bukan hanya prilaku binatang. Prilaku alampun mengalami perubahan. Lihat saja iklim dan musim yang kini berbuat semaunya tidak lagi mengikuti pakem. Di buku Ilmu Bumi saat kita di sekolah ditulis bahwa musim kering di Indonesia berlaku dari April-Oktober kemudian musim hujan mulai dari Oktober-April. Tapi sekarang, tidak jelas lagi karena bisa saja hujan mengguyur di tengah musim kering dan sebaliknya hujan tidak pernah turun di saat musim hujan. Dilaporkan bahwa suhu telah bertambah panas dan salju di Kutub Utara dan Kutub Selatan serta di puncak Himalaya mulai meleleh sehingga air laut meninggi dan menenggelamkan beberapa pulau kecil. Sebaliknya salju yang turun tampak makin banyak di beberapa negara yang tadinya relatif kekurangan salju.

Banjir bandang kini melanda Mekah dan Jeddah sehingga menelan korban lebih dari seratus jiwa padahal sebelumnya hal itu tidak pernah terjadi di sana dalam kurun puluhan tahun. Alam dan binatang selalu bereaksi terhadap ulah manusia karena manusia adalah khalifah di muka bumi ini. Manusia busuk akan membuat alam marah dan binatang berbuat ulah. Ini adalah masalah sebab-akibat, soal aksi-reaksi. Karena itu, kita harus melakukan penyadaran diri terus menerus untuk memperbaiki moralitas, etika, sopan santun. Dan yang paling utama, kita harus memperbaiki kualitas hubungan kita dengan Allah Swt agar kita dan bumi serta alam ini bisa saling bersinergi dalam kebaikan dan kedamaian. Selamat berakhir pekan dalam liburan panjang Natal dan Tahun Baru Masehi. (Amir Santoso, Gurubesar FISIP.UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).

Senin, 25 Januari 2010

Bonek

Bonek itu singkatan dari Bondo Nekat (Modal Nekat). Mereka adalah pendukung kesebelasan Persebaya Surabaya yang datang berbondong-bondong ke kota mana saja di Pulau Jawa tempat Persebaya bertanding. Tapi yang menjadi masalah adalah mereka suka membikin keributan antar pendukung dan merusak. Di perjalananpun mereka merusak tempat-tempat yang disinggahinya. Terakhir adalah pengrusakan stasiun kereta api di Jawa Tengah saat mereka mau ke Bandung untuk menonton pertandingan Persebaya melawan Persib.

Kelakuan Bonek itu adalah potret kegagalan penegakan hukum di negeri kita. Masalah bonek itu sebenarnya masalah yang mudah diselesaikan asalkan aparat keamanan bisa bersikap tegas kalau perlu keras. Bonek itu sudah jelas melakukan pengrusakan dan hal itu berarti pelanggaran hukum. Jadi seharusnya mereka ditindak secara hukum dengan tegas, dan aparat hukum tidak perlu takut. Tapi yang dilakukan oleh aparat sejak fenomena bonek itu muncul adalah dengan memberi fasilitas. Kendaraan disediakan, pengawalan dilakukan, makanan juga diberikan gratis, dan kelakukan merusak serta kerusakan akibat amukan mereka dibiarkan. Tentu saja hal itu akan menyebabkan para bonek merasa bebas untuk melakukan pengrusakan kembali. Sebab mereka tahu bahwa prilaku mereka tidak akan ditindak secara hukum. Andaikata pelaku itu dihukum secara tegas misalnya didenda dengan denda yang berat atau dihukum kurungan, saya yakin praktek buruk itu akan bisa dikurangi.

Apa yang dilakukan oleh aparat hukum terhadap bonek juga tergambar dalam sikap terhadap pelanggar hukum lainnya. Korupsi makin subur karena meskipun sebagian kecil koruptor sudah dihukum tetapi hukuman mereka tampaknya bisa ditawar dengan perlakuan yang istimewa di dalam penjara. Lihat saja contoh istana Ayin dan Aling di penjara Pondok Bambu. Itulah sebabnya kita lihat para koruptor senyum-senyum terus di depan kamera televisi. Tidak ada rasa takut di wajah mereka. Contoh lain adalah prilaku sebagian dari kita di jalan raya yang cenderung seenaknya melanggar aturan lalulintas. Tidak ada sedikitpun perasaan bersalah meskipun melanggaran rambu dan aturan lalulintas. Boleh dikata sedikit sekali dilakukan penindakan oleh polisi terhadap pelanggar lalulintas.

Jikapun ditindak maka tawar menawar hukuman bisa dilakukan. Masih banyak contoh lain yang bisa temui. Tanpa ada penindakan yang tegas dan konsisten terhadap pelanggar hukum maka demokrasi dan negara ini tidak akan berjalan secara normal. Demokrasi membutuhkan penegakan hukum. Sebab jika tidak, akan terjadi anarki dimana semua warga akan berbuat semaunya tanpa mengindahkan hak orang lain. Anarki itu sudah dimulai di negeri kita. Karena itu apabila hukum dan ketertiban masyarakat ingin ditegakkan, dihimbau kepada aparat hukum agar mereka konsisten dalam melaksanakan ketentuan hukum. Tapi untuk itu aparat hukum itu sendiri harus membersihkan diri mereka terlebih dahulu.

(Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).

Kamis, 21 Januari 2010

Soal Gampang dibuat Sulit?

Sejak Pansus DPR untuk Bank Century (BC) dibentuk tiap hari kita punya tontonan baru mirip sinetron. Bagi yang pusing di kantor atau mahasiswa yang mumet di kampus, tontonan itu menyegarkan. Melihat anggota pansus DPR yang beraneka ragam lagaknya dalam mengajukan pertanyaan seperti jaksa menanyai tersangka, sampai para pejabat yang ditanyai, semuanya menyuguhkan hiburan yang menarik. Tapi untuk saya, terus terang saja, tontonan itu mulai menyebalkan. Buang-buang waktu dan tenaga padahal rasanya persoalannya mudah-mudah saja.

Ada duit gelontoran dari negara membengkak dari semestinya sekitar Rp 600 Milyar (menurut Menkeu) menjadi Rp 6.7 Trilyun. Yang menjadi pertanyaan, menurut saya sih, adalah mengapa jumlah itu menjadi sangat besar? Siapa yang memberikan instruksi agar memperbesar jumlah itu? Untuk keperluan apa, dan siapa saja yang menerima? Jika mau sebenarnya hal itu tinggal diperintahkan untuk diusut oleh pihak yang berwenang lalu pelakunya dipecat dan dihadapkan ke pengadilan. Tapi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu ternyata ditempuh jalan berliku dan panjang termasuk membentuk pansus, dan terjadilah sinetron itu. Ada apa kok pakai jalan melingkar? Apakah ada ketidakjujuran yang harus disembunyikan? Sungguh terlalu banyak waktu terbuang dan terlampau banyak dampak negatifnya yaitu berupa menyebarnya dugaan-dugaan negatif tentang tokoh-tokoh di lingkaran kekuasaan, dan yang terpenting, semakin tergerusnya legitimasi pemerintah di mata publik.

Adegan sinetron pansus itu bukannya memperkuat wibawa dan kehormatan pemerintah malahan makin merusak. Buktinya, sudah beberapa kali terjadi demo di berbagai kota menghujat Wapres Budiono dan Menkeu Sri Mulyani bahkan menggelar poster-poster yang menghina dan membakar foto mereka. Padahal Wapres dan Menkeu adalah lambang-lambang negara yang seharusnya dihormati. Belum lagi jika kita membaca komentar-komentar di surat pembaca dan di internet yang isinya jauh lebih pedas.

Jika benar cara melingkar itu dipakai untuk menutupi ketidakjujuran maka negara ini sesungguhnya dirusak oleh dua hal utama yaitu oleh kemunafikan dan oleh ketidakmampuan untuk mengambil keputusan secara tegas dan cepat. Urusan mudah dibikin sulit hanya karena ingin menutupi sesuatu dengan cara seolah menjunjung demokrasi. Tapi akibatnya kehidupan masyarakat makin tidak terurus karena energi dan perhatian tersita oleh sinetron pansus. Lalu kapan pemerintah akan mulai membangun negeri ini secara serius? Para pemimpin negeri ini seharusnya menyadari bahwa negeri ini sudah tidak terurus selama duabelas tahun terakhir. Terlalu banyak perhatian para pemimpin hanya diarahkan kepada dirinya sendiri dengan cekcok tidak berkesudahan, bukan kepada kepentingan rakyat dan negara.

Duabelas tahun dibuang sia-sia sehingga akibatnya sudah mulai terjadi ketidakpastian sosial, norma-norma sosial makin kacau, aturan hukum makin banyak dilanggar dan diabaikan bahkan oleh petugas hukum sendiri, perekonomian morat marit meninggalkan kemiskinan dan pengangguran, pendidikan terbengkalai, urusan kesehatan publik tidak dipedulikan, sarana dan prasarana publik tidak terurus dan masih banyak lagi. Wahai para pemimpin, berhentilah main sinetron, berhentilah bersikap munafik, jujurlah kepada diri sendiri dan kepada rakyat karena rakyat sudah letih melihat semua sandiwara itu.


(Amir Santoso, Gurubesar FISIP.UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).

Pengalaman saya:

: Dosen Program MAP, FISIP.UI – hingga
Sekarang.

Dosen Pascasarjana Ilmu Politik-hingga
Sekarang

Dosen Program MAP, Universitas Esa Unggul,
Jakarta, hingga sekarang.

Direktur Pascasarjana Universitas Jayabaya
1994-2000.

Ketua Departemen Ilmu Politik, FISIP.UI, 1988-
1991.

Anggota Dewan Redaksi Harian Pelita, Jakarta
Hingga sekarang

Anggota Dewan Riset Nasional, 1995-2004

Anggota Dewan Pers, 1995-1999

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, 1997-1999

Dosen Sekolah Staf dan Komando ABRI
1991-1999