Senin, 08 Februari 2010

Bumi, Air untuk Siapa?

Setiap kali saya ajak omong sopir taksi dikala jalanan macet, jawaban mereka tetap sama seperti lima enam tahun yang lalu yaitu keadaan jaman Pak Harto lebih enak. Alasan mereka juga sama yaitu gampang cari makan, harga-harga murah dan keamanan terjamin. Saya pancing dia, dulu kan ada korupsi? Sopir itu ngakak, memangnya sekarang sudah habis korupsinya pak? Malahan makin banyak tuh, mulai dari atas sampai kebawah, ke kanan dan ke kiri. Saya pancing lagi, kan sekarang ada kebebasan? Benar pak, jawabnya, tapi saya dan teman-teman jengkel karena tiap hari terhadang demo dan mendengar debat yang tidak putus-putus di DPR, di televisi, di radio dan sebagainya. Tidak ada solusi hanya debat melulu, katanya. Jawaban sopir itu ternyata makin canggih, siapa bilang sekarang banyak kebebasan pak? Mana kami-kami ini bebas dari kemiskinan, pengangguran, bebas dari ketakutan karena hukum lebih memihak yang kaya, bebas hidup dari tekanan? Sopir itu benar, demokrasi kita sekarang ini adalah baarang mewah bagi dia dan rakyat yang sekelas dengannya.

Demokrasi kita sekarang ini hanya permainan para tokoh untuk bersilat lidah dan berpura-pura membela rakyat. Bagi rakyat, yang dibutuhkan adalah demokrasi yang menyejahterakan, yang memberi rasa aman. Mereka jauh dari keinginan untuk berdebat politik karena memang hasrat mereka sederhana saja yaitu hidup tenang dalam keamanan dan kesejahteraan. Adalah tugas dan kewajiban pemerintah untuk mengadakan dua hal itu. Pemerintahan yang abai akan hal itu adalah pemerintahan yang berkhianat terhadap cita-cita proklamasi.

Reformasi ini sesungguhnya memiliki makna yang mulia yaitu me-reform atau mengubah dan menyempurnakan hal-hal yang dulu kurang baik. Tapi yang terjadi ternyata bukan perbaikan dan penyempurnaan melainkan perusakan dalam skala luas terhadap capaian-capaian yang baik di masa lalu. Bagaimana ketertiban dan keamanan akan berjalan dengan baik apabila hukum tidak diterapkan dan keadilan tidak ditegakkan? Bagaimana harmoni sosial akan terpelihara apabila konflik antar kelompok, suku dan agama dibiarkan dengan dalih kebebasan berpendapat? Yang lebih menyedihkan adalah hilangnya kedaulatan ekonomi kita karena harta kita, bumi dan air telah banyak yang hilang ke tangan asing. Kita telah berubah menjadi bangsa yang menumpang di tanah air sendiri karena hampir semua harta kita yang teletak di bumi dan air telah dikuasai asing.

Pasal 33 UUD 1945 tentang bumi, air dan kekayaan alam lainnya harus dikuasai oleh negara bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat telah tidak digubris lagi, dikalahkan oleh nafsu serakah untuk memperoleh untung bagi kantong pribadi. Hampir semua kekayaan kita telah dijual mulai dari pertambangan, BUMN, bahkan di lautpun kita tidak berdaulat lagi. Ini ironi demokrasi karena kita takluk kepada kepentingan asing melalui jargon-jargon manis Demokrasi Liberal tentang kebebasan yang ternyata menyesatkan. Inilah buah dari kekhilafan kita melupakan Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33 tersebut. Sementara negara tetangga yang lebih muda usia telah menjadi raksasa yang berdaulat, kita pelan-pelan berubah bagai mimikri menjadi bangsa pengemis dan penjilat. Astagafirullah

(Amir Santoso, Gurubesar FISIP.UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).

1 komentar:

  1. Prof. Amir,

    Saya seia dengan analisis Prof. Amir, soal kesungguhan membela rakyat perlu ditunjukkan dg politik anggaran dan pengawasan utk sektor transportasi. Ukurannya, apakah jalan-jalan disekitar lingkungan kita tidak lagi hancur dan dibangun selokan yang dalam utk menampung hujan. Sehingga jalanan bisa awet.

    Mudah-mudahan supir taksi dan pengguna jalan yang lain merasakan para wakil rakyat dan kementerian/dinas prasarana wilayah telah bekerja optimal.

    Pemilih dan pembayar pajak sudah menunaikan kewajibannya, mohon mereka yang terkait pun bekerja dengan amanah.

    Ini adalah bagian political efficacy yang pernah bapak sampaikan dalam kuliah analisis kebijakan publik.

    Salam,
    '
    Syafuan Rozi

    BalasHapus