Senin, 25 Januari 2010

Bonek

Bonek itu singkatan dari Bondo Nekat (Modal Nekat). Mereka adalah pendukung kesebelasan Persebaya Surabaya yang datang berbondong-bondong ke kota mana saja di Pulau Jawa tempat Persebaya bertanding. Tapi yang menjadi masalah adalah mereka suka membikin keributan antar pendukung dan merusak. Di perjalananpun mereka merusak tempat-tempat yang disinggahinya. Terakhir adalah pengrusakan stasiun kereta api di Jawa Tengah saat mereka mau ke Bandung untuk menonton pertandingan Persebaya melawan Persib.

Kelakuan Bonek itu adalah potret kegagalan penegakan hukum di negeri kita. Masalah bonek itu sebenarnya masalah yang mudah diselesaikan asalkan aparat keamanan bisa bersikap tegas kalau perlu keras. Bonek itu sudah jelas melakukan pengrusakan dan hal itu berarti pelanggaran hukum. Jadi seharusnya mereka ditindak secara hukum dengan tegas, dan aparat hukum tidak perlu takut. Tapi yang dilakukan oleh aparat sejak fenomena bonek itu muncul adalah dengan memberi fasilitas. Kendaraan disediakan, pengawalan dilakukan, makanan juga diberikan gratis, dan kelakukan merusak serta kerusakan akibat amukan mereka dibiarkan. Tentu saja hal itu akan menyebabkan para bonek merasa bebas untuk melakukan pengrusakan kembali. Sebab mereka tahu bahwa prilaku mereka tidak akan ditindak secara hukum. Andaikata pelaku itu dihukum secara tegas misalnya didenda dengan denda yang berat atau dihukum kurungan, saya yakin praktek buruk itu akan bisa dikurangi.

Apa yang dilakukan oleh aparat hukum terhadap bonek juga tergambar dalam sikap terhadap pelanggar hukum lainnya. Korupsi makin subur karena meskipun sebagian kecil koruptor sudah dihukum tetapi hukuman mereka tampaknya bisa ditawar dengan perlakuan yang istimewa di dalam penjara. Lihat saja contoh istana Ayin dan Aling di penjara Pondok Bambu. Itulah sebabnya kita lihat para koruptor senyum-senyum terus di depan kamera televisi. Tidak ada rasa takut di wajah mereka. Contoh lain adalah prilaku sebagian dari kita di jalan raya yang cenderung seenaknya melanggar aturan lalulintas. Tidak ada sedikitpun perasaan bersalah meskipun melanggaran rambu dan aturan lalulintas. Boleh dikata sedikit sekali dilakukan penindakan oleh polisi terhadap pelanggar lalulintas.

Jikapun ditindak maka tawar menawar hukuman bisa dilakukan. Masih banyak contoh lain yang bisa temui. Tanpa ada penindakan yang tegas dan konsisten terhadap pelanggar hukum maka demokrasi dan negara ini tidak akan berjalan secara normal. Demokrasi membutuhkan penegakan hukum. Sebab jika tidak, akan terjadi anarki dimana semua warga akan berbuat semaunya tanpa mengindahkan hak orang lain. Anarki itu sudah dimulai di negeri kita. Karena itu apabila hukum dan ketertiban masyarakat ingin ditegakkan, dihimbau kepada aparat hukum agar mereka konsisten dalam melaksanakan ketentuan hukum. Tapi untuk itu aparat hukum itu sendiri harus membersihkan diri mereka terlebih dahulu.

(Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar